Senin, 23 Februari 2015

Berlatih Vokal (Bagian Dua- Tamat)

Pada suatu siang yang sunyi,  aku mengatakan pada guru piano bahwa aku agak lelah dan tidak ingin memainkan lagu-lagu piano yang biasanya, tetapi aku memperlihatkan padanya lagu-lagu yang aku dapat dari grup paduan suara dan kemudian dia menyarankan aku mencoba memainkannya dengan piano. Aku bilang padanya aku tidak tahu bagaimana cara memainkan iringan tangan kiri, karena aku jauh lebih pandai memainkan melodi tangan kanan . Awalnya dia sama sekali tidak percaya, tetapi kemudian dia tersenyum: “Oke, saya paham. Jadi, bagaimana bisa kamu bernyanyi di klub paduan suara kalau kamu tidak tahu seperti apa bunyi lagu yang tertera dan tertulis di paritur musik yang kamu bawa? Kamu tahu, bukan… Kamu wajib melatih telingamu untuk menangkap suara-suara dalam suatu lagu, bahkan sebelum kamu mencoba menyanyikannya”. Jadi, aku mencoba memainkan lagu di C-chord dan G-chord, sementara guru piano menunggu sambil mengajariku bagaiman membentuk harmoni yang sesuai dan menyeimbangkan posisi jari. Itu pengalaman yang menakjubkan: aku bisa bernyanyi sembari jari-jariku menari di atas piano.
Show me where is the road I can call my own, that I lost that I left so long ago/All this year I have wandered, oh when will I know?
Itu petikan lagu kedua yang aku pelajari. Cuplikan lagu itu bagus dan, walau aku tidak spiritual, aku menyukai lagu yang putis karena sebagai mahasiswa internasional aku sering kangen rumah dan rindu keluarga. Sebenarnya, lagu di atas sedikit mengingatkanku pada lagu lain berjudul “Home in the Range”. Aku rasa ide tentang rumah sendiri adalah gagasan yang cantik. Aku mencintai rumahku. Aku menyanyangi negeraky, tetapi tentu saja aku juga suka tinggal di luar negeri: Amerika telah menjadi rumah keduaku karena setengah hatiku berada di sana dan rumah adalah tempat di mana hati kita berlabuh. Rumah bisa berarti Tanah Air atau Tumpah Darah, tetapi juga bisa berarti tempat yang akan selalu kita kenang selamanya. Interpretasi lain, lagu tadi bisa kita tafsirkan sebagai hasrat seorang petualang untuk kembali pulang. Aku tunjukkan lirik lagu tersebut ke sahabatku dan dia menceritakan kisah anak durhaka yang diterima pulang oleh sang ayah walau si putra itu punya banyak dosa  dan mengkhianati ayahnya. Jadi, aku rasa lagu itu juga tentang pengampuanan, permintaan maaf dan penerimaan tanpa syarat.
After wind, after rain/ when the dark is done/ as I wake from a dream/ in the gold of day/ through the air there's a calling/ from far away
Itu bagian yang gemar aku nyanyikan, karena itu mengisyaratkan  perubahan suasana hati yang metaforis, dari duka yang melankolis berubah ke keterbukaan mata (dari gelap menunuju cahaya). Angin, aku pikir, sekiranya merupakan simbol untuk masa-masa sulit di mana seseorang merasa murung, muram atau merenungi suramnya hidup (sedang jatuh secara mental), tetapi itu hanya berlangsung sebentar, karena manusia akan menemukan penyelamat dan bertatap muka dengan kenyataan/realita.
Rise up/follow me/Come away is the call/With the love in your heart, as the only song/ there is no such beauty as where you belong

Aku rasa akhir lagu itu adalah sebuah puncak di mana si penyanyi harus melukiskan atau menggambarkan emosi penuh gejolak  batin yang tercampur antara lega dan bebas dari beban. Si penyanyi akhirnya tidak lagi kesepian dan hilang arah. Si penyanyi mungkin merasa seperti domba yang disayang oleh penggembala dan kembali ke kandang setelah mengembara ke padang rumput terpencil.
Aku senang pernah ikut paduan suara. Tidak hanya memperoleh ilmu bernyanyi dan bekerja sama menyatukan suara dengan anggota lain, aku juga memperoleh wawasan baru dan belajar menghargai bakat terpendam yang sejatinya ada pada diri setiap insan.

Berlatih Vokal dengan ABD Phonak Naida dan CI Harmony (Bagian Satu)




(Ditulis oleh: Nefertiti Karismaida)

Ubi Caritas et amor, deus ibi est, congregavit nos in unum, christi amor…
Suara cewek dan cowok memenuhi Frohring Recital Hall di Hiram College, Ohio, Amerika Serikat ketika aku berlari tergesa-gesa menuju kursi tempatku biasa berada. Aku nyaris telat menghadari latihan. Aku tidak ingat mengapa aku hampir terlambat; Aku rasa itu karena aku baru saja keluar dari kelas lain (sebelum paduan suara), tapi aku tidak akan lupa betapa senangnya aku mendengar lagu kesukaanku, dari enam lagu yang sudah aku pelajari dengan grup paduan suara selama musim gugur ini, berkumandang . Lagu “Ubi Caritas” itu agamis, lagu  Latin yang berisi lantunan doa, seharusnya aku tidak terlalu antusias, tetapi aku tidak bisa membencinya: itu lagu favoritku karena mudah dinyanyikan dan aku menghafal lirik lagu tersebut dengan cukup baik. Iya, memang ada bagian tertentu di mana aku harus menarik nafas lebih dalam dan tidak melulu bergantung pada kebiasaanku bernyanyi mengandalkan pita suara di tenggorokanku semata (maksudku, suara juga bisa diatur agar datang dari perut), tetapi tantangan macam demikian membuatku gembira. Aku sebenarnya bukan seorang alto dan bukan pula seorang soprano (aku ada di antara, yaitu pemilik suara jenis mezzo), tetapi aku mampu meraih nada-nada tinggi (walau masih sering falsetto). Alasan lain yang menjelaskan mengapa aku bahagia bergabung dengan grup paduan suara adalah karena aku bisa mendengar suara pria dengan sangat jelas (meskipun suara wanita juga indah): aku suka ketika para lelaki penyanyi baritone, tenor dan bass berbaur dengan para perempuan. Untukku pribadi, tidak terlalu sulit mendengarkan bunyi-bunyi di frekuensi rendah: getaran yang dihasilkan sangat keras dan kuat dan vibrasi terasa di seluruh ruangan. Aku dapat merasakannya di permukaan lantai. Suara adalah gelombang, betul? Aku bisa mengikuti kegiatan paduan suara karena aku bisa mendeteksi gelombang. Getaran di udara, yang tertangkap oleh elektroda  di implant koklea yang aku pakai, mencapai otakku dan aku menyadari baris mana yang sedang dinyanyikan oleh kelompokku. Pertama kali berlatih menyanyi rasanya sulit untuk mengetahui sudah sampai di mana lagu yang disenandungkan, tetapi minggu demi minggu berlalu dan aku jadi lebih mahir memahami dan mengerti kapan aku harus mulai bernyanyi dan kapan harus berhenti. Alat bantu dengar juga menolong dan aku merasa percaya diri karena ada kode khusus dari gerakan tangan sang konduktor. Di waktu luang, aku mencari sedikit tentang lagu-lagu yang telah diajarkan . Aku menemukan terjemahan “Ubi Caritas” di internet dan aku senang bukan main mengetahui itu memang lagu tentang Tuhan, tetapi bukan sekedar lagu pujian belaka. Itu memang diambil dari Alkitab dan berkisah tentang Jesus, tetapi lebih dari itu: lagu yang sudah aku kuasai tadi menceritakan betapa pentingnya kebersamaan dan kedamaian. Itu lagu tentang harapan dan, karena aku percaya lagu adalah karya seni dan bentuk ekspresi emosi, aku mencoba untuk tampak bersemangat saaat menyanyikannya, tapi juga mencoba untuk menunjukkan ketertarikan, rasa terima kasih dan syukur.
 Seumur hidup, aku adalah pemberontak: awalnya aku menolak membaca partitur not balok dan aku lebih memilih memainkan segalanya berdasarkan apa yang telingaku bisa dengar, walau tahu telingaku bermasalah. Jadi, aku mendadak patuh dan rela menghabiskan waktu belajar baca repertoire? Piano, itu jawabannya. Tetapi, ceritaku belum selesai. Jauh sebelum piano, ada sesuatu  yang mendorongku untuk mengambil jalan ini.

            Sahabatku di bangku perkuliahan adalah seorang pemain trombone dan aku selalu kagum pada kemampuannya bermain alat musik tiup. Saat dia berpartisipasi di grup music jazz, aku bangga padanya namun aku juga sedih belum bisa menemaninya karena jazz memerlukan kemampuan musik tingkat lanjut, kemampuan membaca not balok dan kemampuan memainkan instrumen semacam terompet atau seruling. Tetapi, karena dia baik hati, sahabatku tidak menyalahkan kurangnya pengetahuanku dalam bidang musik. Dia memberitahuku bahwa Hiram menyelenggarakan kelas piano untuk pemula dan itu direncanakan menjadi kelas kecil yang hanya berisi delapan mahasiswa. Maka, aku mendaftar dan awalnya aku takut kalau nantinya bertemu dengan instruktor yang galak. Aku salah: guru piano yang mengajarku sangat baik karena dia mengizinkan aku meminta tambahan waktu untuk pendampingan privat, walau aku tahu dia pasti sibuk. Kemampuanku bermain piano meningkat seiring dengan kemampuanku bernyanyi.

Bersambung....

BERMAIN PIANO DENGAN IMPLAN KOKLEA & ALAT BANTU DENGAR


 
Seperti apakah musik bagi orang yang mengalami gangguan pendengaran? Apakah pendengaran yang tidak sempurna menjadi penghalang untuk menikmati lagu dan nyanyian? Hal itu tergantung pada seberapa parah tingkat kehilangan pendengaran yang dimaksud. Pada orang yang masih punya sisa pendengaran alami, ada kemungkinan mereka masih mampu mempelajari instrumen tertentu.


Ada berbagai jenis gangguan pendengaran, mulai dari yang berat sampai ke yang sedang dan ringan. Pada gangguan pendengaran yang terjadi setelah anak dapat berbicara dan mengenal bahasa (post-linguistik), atau pada kategori sensorineural hearing loss, terdapat potensi meningkatkan keterampilan bermusik asalkan orang yang bersangkutan mau berlatih serta memaksimalkan penggunaan implan koklea dan/atau alat bantu dengar. Pada kasus di mana pendengaran di frekuensi rendah tetap berfungsi (walau kurang optimal) dan pendengaran di frekuensi tinggi cukup terhambat, musik tetap bisa diperkenalkan. Tahapannya memang panjang (misal: mesti mau belajar dari awal, mulai dari lagu bernada sederhana), namun bukan berarti tidak akan membuahkan hasil.

















MENUNGGU LUKA SEMBUH

Setelah operasi implan koklea berhasil, hal yang akan terjadi selanjutnya adalah memastikan bekas luka sayatan bisa kering dan kulit kembali menyatu dengan sempurna. Ada beberapa cara yang bisa dicoba agar tidak timbul infeksi atau komplikasi pada luka, di antaranya:
  • -       Pakai baju yang berkancing (bukan kaus). Baju semacam kemeja mudah dilepas pasang dan tidak harus ditarik melewati kepala. Dengan demikian, luka di belakang telinga tidak akan terkena gesekan baju dan juga tidak tergores.
  • -       Usahakan luka tetap kering dan tidak basah, bau atau lembab. Untuk beberapa hari, mungkin harus menghindari keramas. Cuci rambut dapat dilakukan setelah luka pulih.
  • -       Konsumsi makanan penuh gizi atau bernutrisi seimbang. Susu protein dapat turut menjaga kestabilan kondisi tubuh.
  • -       Jangan dulu terlibat dalam aktifitas yang menuntut banyak kontak fisik atau gerakan yang dapat menganggu penyembuhan luka (misalnya: bela diri, sepak bola, rugby, basket).



Selama masa pemulihan, bisa jadi timbul rasa mual atau nyeri pada perut. Hal itu disebabkan oleh tingkat sensitifitas badan kita dalam menerima obat penghilang rasa sakit (pain killer). Ada orang yang memiliki tingkat toleransi tinggi pada obat tersebut, ada juga yang sebaliknya. Bila rasa mual berlanjut, istirahat yang cukup sangat dibutuhkan. Makanan yang gampang dicerna (seperti bubur dan sup sayuran) bisa membantu mengatasi rasa ingin muntah.