(Ditulis oleh: Nefertiti Karismaida)
Ubi Caritas et amor, deus ibi est, congregavit nos in unum, christi amor…
Suara
cewek dan cowok memenuhi Frohring Recital Hall di Hiram College, Ohio, Amerika
Serikat ketika aku berlari tergesa-gesa menuju kursi tempatku biasa berada. Aku
nyaris telat menghadari latihan. Aku tidak ingat mengapa aku hampir terlambat;
Aku rasa itu karena aku baru saja keluar dari kelas lain (sebelum paduan suara),
tapi aku tidak akan lupa betapa senangnya aku mendengar lagu kesukaanku, dari
enam lagu yang sudah aku pelajari dengan grup paduan suara selama musim gugur
ini, berkumandang . Lagu “Ubi Caritas” itu agamis, lagu Latin yang berisi lantunan doa, seharusnya aku
tidak terlalu antusias, tetapi aku tidak bisa membencinya: itu lagu favoritku
karena mudah dinyanyikan dan aku menghafal lirik lagu tersebut dengan cukup
baik. Iya, memang ada bagian tertentu di mana aku harus menarik nafas lebih
dalam dan tidak melulu bergantung pada kebiasaanku bernyanyi mengandalkan pita
suara di tenggorokanku semata (maksudku, suara juga bisa diatur agar datang
dari perut), tetapi tantangan macam demikian membuatku gembira. Aku sebenarnya
bukan seorang alto dan bukan pula seorang soprano (aku ada di antara, yaitu
pemilik suara jenis mezzo), tetapi aku mampu meraih nada-nada tinggi (walau masih
sering falsetto). Alasan lain yang menjelaskan mengapa aku bahagia bergabung
dengan grup paduan suara adalah karena aku bisa mendengar suara pria dengan
sangat jelas (meskipun suara wanita juga indah): aku suka ketika para lelaki
penyanyi baritone, tenor dan bass berbaur dengan para perempuan. Untukku
pribadi, tidak terlalu sulit mendengarkan bunyi-bunyi di frekuensi rendah: getaran
yang dihasilkan sangat keras dan kuat dan vibrasi terasa di seluruh ruangan. Aku
dapat merasakannya di permukaan lantai. Suara adalah gelombang, betul? Aku bisa
mengikuti kegiatan paduan suara karena aku bisa mendeteksi gelombang. Getaran
di udara, yang tertangkap oleh elektroda di implant koklea yang aku pakai, mencapai
otakku dan aku menyadari baris mana yang sedang dinyanyikan oleh kelompokku. Pertama
kali berlatih menyanyi rasanya sulit untuk mengetahui sudah sampai di mana lagu
yang disenandungkan, tetapi minggu demi minggu berlalu dan aku jadi lebih mahir
memahami dan mengerti kapan aku harus mulai bernyanyi dan kapan harus berhenti.
Alat bantu dengar juga menolong dan aku merasa percaya diri karena ada kode
khusus dari gerakan tangan sang konduktor. Di waktu luang, aku mencari sedikit
tentang lagu-lagu yang telah diajarkan . Aku menemukan terjemahan “Ubi Caritas”
di internet dan aku senang bukan main mengetahui itu memang lagu tentang Tuhan,
tetapi bukan sekedar lagu pujian belaka. Itu memang diambil dari Alkitab dan
berkisah tentang Jesus, tetapi lebih dari itu: lagu yang sudah aku kuasai tadi menceritakan
betapa pentingnya kebersamaan dan kedamaian. Itu lagu tentang harapan dan,
karena aku percaya lagu adalah karya seni dan bentuk ekspresi emosi, aku
mencoba untuk tampak bersemangat saaat menyanyikannya, tapi juga mencoba untuk
menunjukkan ketertarikan, rasa terima kasih dan syukur.
Seumur hidup, aku adalah pemberontak: awalnya
aku menolak membaca partitur not balok dan aku lebih memilih memainkan
segalanya berdasarkan apa yang telingaku bisa dengar, walau tahu telingaku
bermasalah. Jadi, aku mendadak patuh dan rela menghabiskan waktu belajar baca
repertoire? Piano, itu jawabannya. Tetapi, ceritaku belum selesai. Jauh sebelum
piano, ada sesuatu yang mendorongku
untuk mengambil jalan ini.
Sahabatku di bangku perkuliahan
adalah seorang pemain trombone dan aku selalu kagum pada kemampuannya bermain
alat musik tiup. Saat dia berpartisipasi di grup music jazz, aku bangga padanya
namun aku juga sedih belum bisa menemaninya karena jazz memerlukan kemampuan
musik tingkat lanjut, kemampuan membaca not balok dan kemampuan memainkan instrumen
semacam terompet atau seruling. Tetapi, karena dia baik hati, sahabatku tidak
menyalahkan kurangnya pengetahuanku dalam bidang musik. Dia memberitahuku bahwa
Hiram menyelenggarakan kelas piano untuk pemula dan itu direncanakan menjadi
kelas kecil yang hanya berisi delapan mahasiswa. Maka, aku mendaftar dan awalnya
aku takut kalau nantinya bertemu dengan instruktor yang galak. Aku salah: guru
piano yang mengajarku sangat baik karena dia mengizinkan aku meminta tambahan
waktu untuk pendampingan privat, walau aku tahu dia pasti sibuk. Kemampuanku
bermain piano meningkat seiring dengan kemampuanku bernyanyi.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar