Senin, 23 Februari 2015

Berlatih Vokal dengan ABD Phonak Naida dan CI Harmony (Bagian Satu)




(Ditulis oleh: Nefertiti Karismaida)

Ubi Caritas et amor, deus ibi est, congregavit nos in unum, christi amor…
Suara cewek dan cowok memenuhi Frohring Recital Hall di Hiram College, Ohio, Amerika Serikat ketika aku berlari tergesa-gesa menuju kursi tempatku biasa berada. Aku nyaris telat menghadari latihan. Aku tidak ingat mengapa aku hampir terlambat; Aku rasa itu karena aku baru saja keluar dari kelas lain (sebelum paduan suara), tapi aku tidak akan lupa betapa senangnya aku mendengar lagu kesukaanku, dari enam lagu yang sudah aku pelajari dengan grup paduan suara selama musim gugur ini, berkumandang . Lagu “Ubi Caritas” itu agamis, lagu  Latin yang berisi lantunan doa, seharusnya aku tidak terlalu antusias, tetapi aku tidak bisa membencinya: itu lagu favoritku karena mudah dinyanyikan dan aku menghafal lirik lagu tersebut dengan cukup baik. Iya, memang ada bagian tertentu di mana aku harus menarik nafas lebih dalam dan tidak melulu bergantung pada kebiasaanku bernyanyi mengandalkan pita suara di tenggorokanku semata (maksudku, suara juga bisa diatur agar datang dari perut), tetapi tantangan macam demikian membuatku gembira. Aku sebenarnya bukan seorang alto dan bukan pula seorang soprano (aku ada di antara, yaitu pemilik suara jenis mezzo), tetapi aku mampu meraih nada-nada tinggi (walau masih sering falsetto). Alasan lain yang menjelaskan mengapa aku bahagia bergabung dengan grup paduan suara adalah karena aku bisa mendengar suara pria dengan sangat jelas (meskipun suara wanita juga indah): aku suka ketika para lelaki penyanyi baritone, tenor dan bass berbaur dengan para perempuan. Untukku pribadi, tidak terlalu sulit mendengarkan bunyi-bunyi di frekuensi rendah: getaran yang dihasilkan sangat keras dan kuat dan vibrasi terasa di seluruh ruangan. Aku dapat merasakannya di permukaan lantai. Suara adalah gelombang, betul? Aku bisa mengikuti kegiatan paduan suara karena aku bisa mendeteksi gelombang. Getaran di udara, yang tertangkap oleh elektroda  di implant koklea yang aku pakai, mencapai otakku dan aku menyadari baris mana yang sedang dinyanyikan oleh kelompokku. Pertama kali berlatih menyanyi rasanya sulit untuk mengetahui sudah sampai di mana lagu yang disenandungkan, tetapi minggu demi minggu berlalu dan aku jadi lebih mahir memahami dan mengerti kapan aku harus mulai bernyanyi dan kapan harus berhenti. Alat bantu dengar juga menolong dan aku merasa percaya diri karena ada kode khusus dari gerakan tangan sang konduktor. Di waktu luang, aku mencari sedikit tentang lagu-lagu yang telah diajarkan . Aku menemukan terjemahan “Ubi Caritas” di internet dan aku senang bukan main mengetahui itu memang lagu tentang Tuhan, tetapi bukan sekedar lagu pujian belaka. Itu memang diambil dari Alkitab dan berkisah tentang Jesus, tetapi lebih dari itu: lagu yang sudah aku kuasai tadi menceritakan betapa pentingnya kebersamaan dan kedamaian. Itu lagu tentang harapan dan, karena aku percaya lagu adalah karya seni dan bentuk ekspresi emosi, aku mencoba untuk tampak bersemangat saaat menyanyikannya, tapi juga mencoba untuk menunjukkan ketertarikan, rasa terima kasih dan syukur.
 Seumur hidup, aku adalah pemberontak: awalnya aku menolak membaca partitur not balok dan aku lebih memilih memainkan segalanya berdasarkan apa yang telingaku bisa dengar, walau tahu telingaku bermasalah. Jadi, aku mendadak patuh dan rela menghabiskan waktu belajar baca repertoire? Piano, itu jawabannya. Tetapi, ceritaku belum selesai. Jauh sebelum piano, ada sesuatu  yang mendorongku untuk mengambil jalan ini.

            Sahabatku di bangku perkuliahan adalah seorang pemain trombone dan aku selalu kagum pada kemampuannya bermain alat musik tiup. Saat dia berpartisipasi di grup music jazz, aku bangga padanya namun aku juga sedih belum bisa menemaninya karena jazz memerlukan kemampuan musik tingkat lanjut, kemampuan membaca not balok dan kemampuan memainkan instrumen semacam terompet atau seruling. Tetapi, karena dia baik hati, sahabatku tidak menyalahkan kurangnya pengetahuanku dalam bidang musik. Dia memberitahuku bahwa Hiram menyelenggarakan kelas piano untuk pemula dan itu direncanakan menjadi kelas kecil yang hanya berisi delapan mahasiswa. Maka, aku mendaftar dan awalnya aku takut kalau nantinya bertemu dengan instruktor yang galak. Aku salah: guru piano yang mengajarku sangat baik karena dia mengizinkan aku meminta tambahan waktu untuk pendampingan privat, walau aku tahu dia pasti sibuk. Kemampuanku bermain piano meningkat seiring dengan kemampuanku bernyanyi.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar